Awan mendung membayangi para pelaku industri perhotelan setelah pemerintah memutuskan efisiensi belanja kementerian dan lembaga tahun 2025. Kebijakan yang bertujuan untuk menghemat anggaran itu, telah memukul mundur bisnis MICE (Meetings, Incentives, Conferences, and Exhibitions) di Indonesia, yang menjadi andalan industri hospitality Tanah Air. Sejak pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025, bisnis perhotelan, pertemuan, konvensi, dan pameran atau MICE terpuruk akibat sepinya rapat dan pertemuan.  Baca juga: 5 Rekomendasi Hotel Ramah Anak di Sekitar Puncak Bogor Padahal, banyak hotel, terutama di daerah yang bergantung pada agenda perjalanan dinas yang dilakukan pemerintah. Imbasnya, sejumlah hotel di kota-kota seperti Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar mengalami penurunan okupansi dan revenue. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, secara nasional, tingkat okupansi hotel bintang di Indonesia mengalami penurunan dari 48,38 persen pada Januari 2025 menjadi 47,21 persen pada Februari 2025, turun 1,17 poin (m-to-m). Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran mengatakan, efisiensi anggaran pemerintah berdampak besar bagi bisnis perhotelan di Tanah Air. Salah satunya terhadap revenue, atau total pendapatan yang dihasilkan industri hotel. Menurut Maulana, di sejumlah daerah memang masih banyak hotel, MICE, dan restoran yang bergantung pada acara pemerintah, seperti konferensi, rapat, atau pameran. Bahkan kontribusi dari kegiatan ini mencapai 40-60 persen, sedangkan di daerah lain yang ramai mencapai 70 persen. "Itu bukan kontribusi untuk okupansi kamar, melainkan dalam bentuk meeting. Artinya ada kontribusi dalam bentuk penjualan makanan dan minuman, kalau okupansi kamar sejauh ini turun sekitar 3 persen" katanya saat dihubungi Hypeabis.id. Menyikapi hal tersebut, pihaknya sudah melakukan sejumlah strategi bertahan untuk jangka pendek dan panjang. Salah satunya adalah dengan mendorong peningkatan jumlah wisman untuk berwisata ke sejumlah daerah, dan menjadikan Indonesia sebagai kegiatan MICE internasional. Kendati begitu, menurut Maulana Indonesia belum terlalu serius untuk menggarap lahan ini. Dia berharap dengan adanya pembahasan RUU Kepariwisataan bakal meningkatkan kontribusi sektor pariwisata terhadap ekonomi nasional, serta menciptakan regulasi yang lebih adaptif dan responsif. "Kita sedang perjuangkan bagaimana RUU itu membentuk semacam lembaga independen yang juga didukung anggaran dari pajak yang dikembalikan lagi ke industri pariwisata untuk promosi. Jadi tidak bergantung terus ke pemerintah," jelasnya. Selaras, pengamat pariwisata FX Setiyowibowo mengatakan, penghematan APBN di sektor perjalanan dinas memang memberikan tekanan nyata bagi sektor perhotelan di sejumlah daerah di Tanah Air, terutama yang selama ini sangat tergantung pada kegiatan pemerintah.  Namun, dengan strategi adaptasi yang tepat, seperti diversifikasi pasar, pengembangan program edukasi, dan efisiensi operasional, hotel-hotel tersebut, menurutnya bakal dapat bertahan dan berkembang di tengah kondisi yang sulit ini. "Tanpa diversifikasi pasar dan inovasi produk, hotel-hotel tersebut akan berada dalam risiko tinggi seperti mengalami kerugian atau bahkan gulung tikar," katanya.  Baca juga: Laporan SiteMinder: Tarif Kamar Hotel di Indonesia Naik Signifikan, Senin Jadi Malam Termahal Kendati begitu, proses diversifikasi pasar juga memiliki tantangan tersendiri. Sebab pemerintah daerah belum cukup sigap dan proaktif, untuk mulai mengambil langkah nyata dalam mengembangkan pasar baru yang lebih mandiri dan berbasis masyarakat. "Beberapa daerah mungkin telah mengambil langkah inovatif dan adaptif, sementara yang lain masih menghadapi tantangan dalam merespons perubahan tersebut," jelasnya.